Digambarkan Wells (1933), harapan besar tertumpu pada Presiden AS Franklin D Roosevelt. Sayang ia tidak hadir, tetapi memantau dari kapalnya, Amberjack II, dan berlibur di Pasifik Utara.
Masalah utama Konferensi London tak lain menata aturan standar emas saat ekonomi dunia membutuhkan reflasi moneter. Roosevelt menolak usulan untuk menata kembali perekonomian internasional.
Banyak kalangan menaruh harapan besar pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di London, 2 April 2009. Gordon Brown menyambut pertemuan ini sebagai global new deal. Nicholas Sarkozy dan Angela Merkel berharap ”restrukturisasi kapitalisme”. Sebagian lain menengarai sebagai gelombang baru investasi jangka panjang serta berharap koordinasi kebijakan yang signifikan. Toh, banyak yang sinis dan pesimistis.
Lihat komunike hasil KTT G-20 pertama di Washington, November 2008. Para pemimpin serius mendeklarasikan, ”Kami menekankan sangat penting menolak proteksionisme.... Kami tidak mendukung hambatan-hambatan baru untuk investasi atau perdagangan barang dan jasa.” Mereka juga menginstruksikan para menteri perdagangan untuk merampungkan Putaran Doha hingga akhir 2008.
Studi Bank Dunia (2009) menunjukkan, 17 negara yang menandatangani deklarasi G-20 di Washington telah mengambil kebijakan proteksionisme. Meksiko bakal menaikkan tarif hingga 2,4 miliar dollar AS atas barang dari AS. Balasannya, Kongres AS memutuskan untuk menghentikan truk dari Meksiko yang menggunakan jalan raya Paman Sam. Subsidi ekspor baru diumumkan Uni Eropa terhadap produk-produk pertanian dan pemotongan pajak untuk eksportir yang didorong China dan India.
Rusia menaikkan tarif mobil bekas, sementara India menaikkan tarif baja. China melarang impor brandy Italia dan daging babi dari Irlandia. Aksi dumping terjadi hampir di seluruh penjuru dunia untuk melindungi produk lokal dari kompetisi. Pemerintah pun lebih cenderung menggunakan produk dalam negeri.
Secara alami, Putaran Doha tak pernah tuntas. Perdagangan bebas nyaris runtuh dan proteksionisme meningkat. Tahun 2009 merupakan kontraksi paling tajam dalam perdagangan global selama 80 tahun terakhir.
Ketimpangan antara komitmen terhadap perdagangan bebas dan praktik politik tak terhindarkan. Para pemimpin G-20 menyadari, proteksionisme bukan ide yang tepat. Tetapi, mereka tidak bisa lepas dari kebutuhan dan dorongan domestik. Mereka harus melindungi penduduknya dan khawatir naiknya pengangguran. Saat ekonomi memburuk, kian kental tendensi menyalahkan pihak asing.
Krisis global membutuhkan solusi global. Mustahil Paman Sam mampu menciptakan sendiri pemulihan ekonomi global. Para pemimpin penuh retorika kerja sama, tetapi lemah realitas. Meski meneriakkan pentingnya keterbukaan dan koordinasi global, mereka tak bisa lepas dari kepentingan domestik.
Aktivitas ekonomi beroperasi secara global, sementara kekuatan politik ada di tingkat lokal. Krisis keuangan telah melampaui batas teritorial, sementara kebijakan politik sulit diwujudkan pada level global. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara masalah dan solusi. Kebutuhan koordinasi internasional dalam stimulus fiskal, pencegahan krisis, dan regulasi sistem finansial untuk mengatasi krisis ekonomi global jelas tak terelakkan.
G-20 jelas bukan forum ideal karena terlalu besar untuk koordinasi antarpemerintah yang efektif, terlebih dilatarbelakangi kepentingan tiap negara. Pertarungan kekuasaan antara ”kekuatan lama”—AS, Perancis, Jerman, Jepang, dan Inggris—dan ”kekuatan baru”—Brasil, China, India, Meksiko, dan Rusia—sulit dihindari. Namun, mencari solusi bersama untuk menyelamatkan kepentingan manusia jauh lebih bijak ketimbang kemasyhuran negara.
Kita tidak tahu kapan ekonomi dunia bakal pulih. Namun, optimisme dan kepercayaan diri tidak boleh runtuh. Sejatinya, pemerintah lebih kuat ketimbang pasar. Dalam sejarah, intervensi pemerintah berhasil mengatasi krisis finansial dalam stabilisasi kapitalisme karena pemerintah dapat menutup pasar, melakukan nasionalisasi, serta membuat aturan baru. Pemerintah harus kembali pada regulasi, bukan pada pemerintah yang kuat (strong government), tetapi pemerintah yang cerdas (smart government).
Upaya G-20 untuk mendorong pertumbuhan, mengatasi proteksionisme, mereformasi pasar, menata lembaga keuangan internasional, dan mencegah krisis terulang patut didukung karena tidak ada alternatif lain. Kebijakan dan langkah konkret G-20 ditunggu masyarakat dunia karena bagaimanapun, yang paling menderita akibat kontraksi ekonomi adalah kaum miskin!
Jangan sampai KTT G-20 di London mengulang Konferensi London 1933. Siapa tahu, kehadiran Presiden Barack Obama di London membawa mukjizat. Bukan seperti Roosevelt!
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/04/03/03110487/menanti.keajaiban.dari.london