Thursday 19 November 2009

Sebuah Surat Dari Negeri Tembok Raksasa

Sebuah Surat Dari Negeri Tembok Raksasa

Oleh Imam Cahyono

“A strong welfare-oriented state created by the Communist revolution has rediscovered the economic dynamism of the market” (Arrighi, 2007).

Roda zaman terus berputar dan musim pun berganti. Sejak tahun 1930an, dunia non-komunis mengalami pergantian rezim, yakni pergantian norma, aturan dan tatanan ekonomi internasional. Perubahan ini ditengarai lewat siklus interval 30 tahunan. Rezim pertama, antara 1945 hingga 1975, diwarnai Keynesian yang diatur dalam kerangka Bretton Woods. Rezim kedua, lebih dikenal sebagai neoliberalisme atau Washington Consensus bermula dari runtuhnya Bretton Woods hingga krisis utang dunia pertama (the First World debt crisis) 2007-08.

Krisis global yang melanda seluruh penjuru bumi sejak tahun lalu mengundang spekulasi bahwa kita tengah menyaksikan perubahan rezim ketiga, ditandai pupusnya kepercayaan kapitalisme model Anglo-Amerika dan kehancuran legitimasi ekonomi neoliberal. Akankah kita memasuki fase baru, sebuah model aturan standar dan kelembagaan ekonomi alternatif dari neoliberalisme, formula baru yang menyediakan basis tatanan dunia yang lebih setara, sebuah rezim yang lebih humanis ketimbang pendahulunya?

Suksesi hegemoni kapitalisme

Hegemoni sistem kapitalisme dunia, menurut Arrighi (1994), terus berubah melalui siklus suksesi. Setiap sistem kapitalisme didominasi kekuatan tunggal. Meski memiliki perbedaan karakteristik, sejauh ini mereka mengikuti sebuah rute dan jalan yang sama. Arrighi sejak awal yakin bahwa pusat akumulasi kapital global telah bergeser dari Atlantik Utara ke Asia Timur, meski Cina pada waktu itu baru mulai melakukan transformasi ekonomi.

Hingga kini, negeri tirai bambu terus melakukan integrasi global dan makin mengukuhkan diri sebagai poros ekonomi dunia. Kebangkitan Cina sebagai kekuatan ekonomi global, seiring dengan kemunduran kekuatan ekonomi dan militer Amerika Serikat, kian memastikan bahwa epos hegemoni Paman Sam terus memudar diikuti dengan era kendali dan dominasi Asia Timur dengan Cina berada di garda depan.

Arrighi (2007) mendefinisikan kapitalisme berdasarkan pada fusi kapital dan kekuasaan negara. The capitalist character of market-based development is not determined by the presence of capitalist institutions and dispositions but by the relation of state power to capital. Add as many capitalists as you like to a market economy, but unless the state has been subordinated to their class interest, the market economy remains non-capitalist.

Di Barat, kapitalisme mendominasi sekaligus mengontrol pemerintah, membuat kombinasi ekonomi yang sangat kuat dengan ekspansi militer yang mendukung kekuatan Barat untuk berkuasa menaklukkan dunia. Sementara di Timur, secara kontras, sebuah negara yang kuat mendukung pertukaran dan transaksi pasar, namun tetap menjaga serta mengendalikan modal dalam skala besar. Model ini tumbuh dan berjalan dengan baik dibawah hegemoni kekaisaran Cina, mendorong sebuah sistem relasi antar negara yang relatif lebih damai di kawasan Asia Timur. Kepemimpinan Cina dalam memulihkan posisi Asia Timur sebagai dengan kekuatan ekonomi besar dan maju, kian menunjukkan jalan yang berbeda dari rezim penguasa sebelumnya.

Kebijakan-kebijakan Beijing jauh dari identik dengan dogma Washington. Bagi Cina, negara menjadi promotor integral dalam pembangunan sekaligus mengadopsi langkah-langkah proteksi sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan teknologi dan industri baru, melakuan investasi besar dalam sistem informasi (Wade, 2008). Sementara, resep yang dibidani John Williamson mengacu pada 10 paket rekomendasi kebijakan, mengharuskan negara tunduk pada pasar sekaligus berperan minimal. Doktrin neoliberal yang kental dengan standar ganda akhirnya membentuk tatanan ekonomi global dibawah kontrol dan dominasi negara-negara maju. Implementasi resep Washington justru menyebabkan polarisasi antara si kaya dan miskin, baik dalam negara-negara maju maupun antara negara maju dengan negara berkembang.

Jalan Pembangunan Alternatif

Selama 3 dekade terakhir, negeri tirai bambu hadir sebagai pemain utama dalam ekonomi global sembari terus memposisikan diri sebagai kekuatan dominan yang menggoyahkan superioritas Barat. Hari-hari ini, meski masih dalam kategori negara berkembang, Cina tengah berkotbah menggurui Paman Sam, negara adidaya dalam bidang ekonomi dan militer.

Hegemoni Cina, diakui atau tidak, telah membawa perubahan positif. Periode kepemimpinan Asia Timur dapat merestruktur hirarki kekuasaan yang didominasi Barat, sekaligus mempengaruhi kesetaraan antar negara yang lebih luas. Hegemoni Cina -meski dicap buruk dalam kasus Tibet dan Taiwan dan tibet- terbukti lebih ramah dan tidak terlalu dominan wajah militernya dibanding hegemoni pendahulunya, yakni Eropa-Amerika. Selain itu, kebangkitan Cina juga mendorong egalitarianisme dan peta jalan pembangunan Asia Timur yang lebih humanis –didasarkan pada kendali pasar ketimbang kedigdayaan modal.

Dalam kancah politik internasional dan tata kelola ekonomi global, perubahan ini berkontribusi mengurangi ketimpangan global yang ekstrim antar negara dan kawasan yang sangat kental pada era dominasi Atlantik Utara. Model pembangunan ala Cina dan kesuksesan ekonomi Asia Timur melalui intervensi pemerintah menjadi harapan baru jalan pembangunan alternatif. Beijing Consensus yang dilontarkan Joshua Cooper Ramo (2004) kembali ramai diperdebatkan. Meski demikian, karakteristik pembangunan ala Cina yang unik belum tentu sesuai jika diadopsi mentah-mentah (one size fits all) oleh negara-negara lainnya.

Indonesia, tentu dapat berguru ke Beijing. Jika sekarang kita mau mereformasi tatanan ekonomi politik, diikuti lahirnya Xiaoping-Xiaoping baru ala Indonesia, siapa tahu kita bisa menjadi besar seperti Cina? Yang pasti, seperti kata orang bijak, tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina!


Kontan Jumat, 20 November 2009

http://www.kontan.co.id/index.php/epaper

Friday 3 April 2009

Menanti Keajaiban Dari London

Kompas, Jumat, 3 April 2009 | 03:11 WIB

Imam Cahyono

Juni 1933, perwakilan 66 negara menghadiri Konferensi Ekonomi London. Bertempat di Museum Geologi, pertemuan ini berupaya menjinakkan Depresi Besar serta membangkitkan perdagangan global dan stabilitas nilai tukar.

Digambarkan Wells (1933), harapan besar tertumpu pada Presiden AS Franklin D Roosevelt. Sayang ia tidak hadir, tetapi memantau dari kapalnya, Amberjack II, dan berlibur di Pasifik Utara.

Masalah utama Konferensi London tak lain menata aturan standar emas saat ekonomi dunia membutuhkan reflasi moneter. Roosevelt menolak usulan untuk menata kembali perekonomian internasional.

Abad ketidakpastian

Banyak kalangan menaruh harapan besar pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di London, 2 April 2009. Gordon Brown menyambut pertemuan ini sebagai global new deal. Nicholas Sarkozy dan Angela Merkel berharap ”restrukturisasi kapitalisme”. Sebagian lain menengarai sebagai gelombang baru investasi jangka panjang serta berharap koordinasi kebijakan yang signifikan. Toh, banyak yang sinis dan pesimistis.

Lihat komunike hasil KTT G-20 pertama di Washington, November 2008. Para pemimpin serius mendeklarasikan, ”Kami menekankan sangat penting menolak proteksionisme.... Kami tidak mendukung hambatan-hambatan baru untuk investasi atau perdagangan barang dan jasa.” Mereka juga menginstruksikan para menteri perdagangan untuk merampungkan Putaran Doha hingga akhir 2008.

Studi Bank Dunia (2009) menunjukkan, 17 negara yang menandatangani deklarasi G-20 di Washington telah mengambil kebijakan proteksionisme. Meksiko bakal menaikkan tarif hingga 2,4 miliar dollar AS atas barang dari AS. Balasannya, Kongres AS memutuskan untuk menghentikan truk dari Meksiko yang menggunakan jalan raya Paman Sam. Subsidi ekspor baru diumumkan Uni Eropa terhadap produk-produk pertanian dan pemotongan pajak untuk eksportir yang didorong China dan India.

Rusia menaikkan tarif mobil bekas, sementara India menaikkan tarif baja. China melarang impor brandy Italia dan daging babi dari Irlandia. Aksi dumping terjadi hampir di seluruh penjuru dunia untuk melindungi produk lokal dari kompetisi. Pemerintah pun lebih cenderung menggunakan produk dalam negeri.

Secara alami, Putaran Doha tak pernah tuntas. Perdagangan bebas nyaris runtuh dan proteksionisme meningkat. Tahun 2009 merupakan kontraksi paling tajam dalam perdagangan global selama 80 tahun terakhir.

Ketimpangan antara komitmen terhadap perdagangan bebas dan praktik politik tak terhindarkan. Para pemimpin G-20 menyadari, proteksionisme bukan ide yang tepat. Tetapi, mereka tidak bisa lepas dari kebutuhan dan dorongan domestik. Mereka harus melindungi penduduknya dan khawatir naiknya pengangguran. Saat ekonomi memburuk, kian kental tendensi menyalahkan pihak asing.

Kerja sama global

Krisis global membutuhkan solusi global. Mustahil Paman Sam mampu menciptakan sendiri pemulihan ekonomi global. Para pemimpin penuh retorika kerja sama, tetapi lemah realitas. Meski meneriakkan pentingnya keterbukaan dan koordinasi global, mereka tak bisa lepas dari kepentingan domestik.

Aktivitas ekonomi beroperasi secara global, sementara kekuatan politik ada di tingkat lokal. Krisis keuangan telah melampaui batas teritorial, sementara kebijakan politik sulit diwujudkan pada level global. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara masalah dan solusi. Kebutuhan koordinasi internasional dalam stimulus fiskal, pencegahan krisis, dan regulasi sistem finansial untuk mengatasi krisis ekonomi global jelas tak terelakkan.

G-20 jelas bukan forum ideal karena terlalu besar untuk koordinasi antarpemerintah yang efektif, terlebih dilatarbelakangi kepentingan tiap negara. Pertarungan kekuasaan antara ”kekuatan lama”—AS, Perancis, Jerman, Jepang, dan Inggris—dan ”kekuatan baru”—Brasil, China, India, Meksiko, dan Rusia—sulit dihindari. Namun, mencari solusi bersama untuk menyelamatkan kepentingan manusia jauh lebih bijak ketimbang kemasyhuran negara.

Kita tidak tahu kapan ekonomi dunia bakal pulih. Namun, optimisme dan kepercayaan diri tidak boleh runtuh. Sejatinya, pemerintah lebih kuat ketimbang pasar. Dalam sejarah, intervensi pemerintah berhasil mengatasi krisis finansial dalam stabilisasi kapitalisme karena pemerintah dapat menutup pasar, melakukan nasionalisasi, serta membuat aturan baru. Pemerintah harus kembali pada regulasi, bukan pada pemerintah yang kuat (strong government), tetapi pemerintah yang cerdas (smart government).

Upaya G-20 untuk mendorong pertumbuhan, mengatasi proteksionisme, mereformasi pasar, menata lembaga keuangan internasional, dan mencegah krisis terulang patut didukung karena tidak ada alternatif lain. Kebijakan dan langkah konkret G-20 ditunggu masyarakat dunia karena bagaimanapun, yang paling menderita akibat kontraksi ekonomi adalah kaum miskin!

Jangan sampai KTT G-20 di London mengulang Konferensi London 1933. Siapa tahu, kehadiran Presiden Barack Obama di London membawa mukjizat. Bukan seperti Roosevelt!

Imam Cahyono Peneliti Perkumpulan Prakarsa


Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2009/04/03/03110487/menanti.keajaiban.dari.london